“Saya bangga pernah dibimbing oleh Prof. Elinor Ostrom, pemenang hadiah Nobel Bidang Ekonomi (Politik) tahun 2009; dan suaminya, Prof. Vincent Ostrom, tokoh utama perspektif Public Choice dalam Administrasi Publik”
Tidak banyak akademisi seberuntung Erwin Fahmi. Ketertarikannya akan lingkungan dan tata ruang perkotaanmengantarkannya sebagai ilmuwan, aktivis dan expert di bidang perencanaan kota dan real estate. Insinyur Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung kelahiran Sumbawa Besar, 28 September 1959 ini memiliki pengalaman panjang penyusunan rencana kota di lebih dari 10 kota besar dan kecil di Indonesia. Sebagai perencana muda, Erwin Fahmi telah terlibat dalam perencanaan Kota Baru BSD City (1984-1988), dan Ketua Tim Perencanaan Kota Baru Kemayoran (1986). Kini ia aktif berbagi ilmu dan pengalaman sebagai dosen di Universitas Tarumanagara, Jakarta.
Banyak pengalaman menarik mengiringi perjalanan pria yang pernah menjadi pengajar tamu di Universitas Syiah Kuala, dan LPEM – Universitas Indonesia, Jakarta ini. Ia meraih gelar Master of Urban and Regional Planning (MURP) dari The University of Sydney, Australia atas beasiswa Pemerintah Australia. Sebagai akademisi di bidang perencanaan kota, sedikitnya 30 jurnal ilmiah dan bab buku telah dirilis, nasional dan internasional.
Tahun 1999-2000, Erwin dipercaya sebagai Ketua Tim Persiapan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), kerja sama Bappenas dan Bank Dunia. Saat itu, pemerintahan Habibie khawatir terjadi ledakan kemiskinan di Pulau Jawa yang bisa memicu kerusuhan. Walaupun telah ada tidak kurang dari 50 program penanggulangan kemiskinan, belum ada yang skalanya cukup masif. “Program itu belakangan disatukan di bawah PNPM Mandiri di Kantor Kemenko Kesra. Cakupannya telah menjangkau seluruh Indonesia,” jelasnya.
Namun lantaran masih menjalani study S3 nya di Universitas Indonesia, Wakil Ketua Bidang Organisasi IAP (1997-2000) ini mengakhiri keterlibatannya dalam program ini. Erwin selanjutnya melakukan telaah kepustakaan untuk penyusunan disertasi yang dilaksanakan di University of Indiana, Bloomington-USA, atas beasiswa Fulbright, di bawah bimbingan Prof. Elinor Ostrom. “Dan saya diterima,” ujarsosok yang aktif dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca Tsunami, penuh syukur.
Pria yang kini juga menjabat Direktur dan Komisaris di beberapa perusahaan di bawah bendera Fortius Corporation ini merasa sangat beruntung pernah bekerja di bawah bimbingan pasangan ilmuwan yang jadi kiblat para peneliti di dunia.
“Saya patut berbangga karena pernah mendapat bimbingan langsung dari Prof. Elinor Ostrom, pemenang hadiah Nobel Bidang Ekonomi (Politik) tahun 2009; dan suaminya, Prof. Vincent Ostrom, tokoh utama perspektif Public Choice dalam Administrasi Publik. Kebetulan penelitian saya tentang self-governance di suatu komunitas di pucuk gunung di Jambi juga menjadi minat mereka,” jelasnya. Buku dan jurnal karya Elinor Ostrom memang banyak membahas tentang kemampuan institusi komunitas dalam pengelolaan sumber daya alam.
Ada pengalaman yang tak pernah akan dilupakan oleh salah satu dari 7 pendiri Perhimpunan Penggiat Solusi Emisi Karbon Nusantara, atau CarbonTropic ini. “Waktu saya mau pulang ke Indonesia sekitar 2002, saya dipanggil Vincent Ostrom. Mereka mengatakan, kapan pun kamu mau kembali ke sini, let me know. Dan bila ada buku-buku di Workshop in Political Theory and Policy Analysisyang kamu ingin terjemahkan dan terbitkan di Indonesia, dengan senang hati kami akan merilis copy right-nya. Kami nggak minta duit dari kamu. Itu sangat menyentuh bagi saya dan luar biasa,” jelasnya haru.
“Jadi, ada 2 pelajaran penting yang saya dapat dari kedua pembimbing saya itu. Pertama, tentang pendekatan institusional; dan kedua, tentang bagaimana dengan tulus mendorong dan mendukung ilmuwan muda untuk maju,” sambungnya.
Tak sampai di situ, Dosen Tetap mata kuliah Kolokium dan Metode Penelitian Sosial Universitas Tarumanagara, program studi Magister Perencana Wilayah dan Kota (MPWK) ini diminta menandai judul-judul buku yang diminatinya. “Yang mengejutkan setelah saya pulang ke Indonesia dan sedang menulis disertasi, kedua professor pembimbingnya itu mengirimkan dua karung buku-buku yang pernah saya tandai. Ini dahsyat sekali, dan saya jadi nggak enak hati karena begitu banyak buku yang saya minati dan rupanya mereka kirimkan semua buat saya,” jelasnya sumringah.
Belakangan buku-buku bersejarah itu disumbangkan Erwin Fahmi ke almamaternya pasca lulus memperoleh gelar Doktor Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia tahun 2002. “Sebagian besar buku yang diberikan Prof. Vincent Ostrom saya serahkan ke Universitas Indonesia, agar lebih banyak orang yang dapat membaca buku-buku keluaran Workshop in Political Theory and Policy Analysis University of Indiana, Bloomington-USA itu,” tutup Erwin.
Sejak beberapa tahun terakhir, Erwin mendorong kajian institusional untuk mahasiswa-mahasiswa bimbingannya. Mereka mengkaji, antara lain, tentang mengapa Perumnas sulit memenuhi tugasnya untuk membangun rumah bagi MBR (masyarakat berpendapatan rendah); mengapa kampung-kampung yang ditangani dalam program penanganan kawasan kumuh cenderung menjadi kumuh kembali; atau bagaimana menyempurnakan kebijakan gubernur DKI tentang kompensasi pelampauan KLB. Singkat kata, focus penelitian Erwin dan para mahasiswanya adalah mengkaji kinerja system perkotaan dan bagaimana meningkatkannya.