Apa yang kita inginkan Jakarta di masa depan? Jakarta harus bisa dan siap untuk berubah. Transformasi yang diinginkan tentu untuk menjadi lebih baik. Seperti kata Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta, Doti Windajani, pada pembukaan seri talkshow yang mengangkat topik “Future Jakarta: Utopian Vision”, dalam rangkaian acara Jakarta Architecture Festival (JAF) 2023. Bahwa, gelaran ini diharapkan, menjadi momentum bagi semua pihak untuk berkolaborasi serta merayakan transformasi yang terus berjalan, dan menjadi bukti ketangguhan serta kemampuan beradaptasi untuk setiap perubahan Jakarta yang dinamis.
Jakarta, menurut Achmad Tardiyana, Principal and Director at Urbane Indonesia, dinamikanya sangat tinggi dan persoalan di kota ini bersifat multidimensi. “Siapapun yang memegang pemerintahan Jakarta akan bingung dengan kecepatan (perubahan) yang demikian tinggi, sementara kita sendiri kebingungan dalam menghadapi tekanan yang sedemikian besar,” katanya.
Agar tahu apa yang diinginkan atau ingin menjadi apa di masa depan, Jakarta harus fokus. Tardiyana memberi contoh bagaimana Singapura itu dikembangkan. “Singapura merupakan negara yang sangat fokus dan konsisten terhadap visi untuk mencapai negara yang diharapkan pada tahun 2050, yaitu menjadi city of nature. Saya harap Jakarta dapat menentukan fokusnya, mau kemana dan itu yang bisa menjadi ujung tombak dari semangat perbaikan,” ucap Tardiyana.
Bukan Sekadar Hijau
Menurutnya Jakarta saat ini menjadi sebuah kota yang sangat keras dan sangat berorientasi pada (pembangunan) infrastuktur. Untuk itu Tardiyana mengusulkan untuk Jakarta melakukan rewilding. Berdasarkan literatur, rewilding adalah melakukan konservasi dalam skala besar yang bertujuan untuk memulihkan dan melindungi kawasan alami, atau menghidupkan kembali kondisi alami sebuah kawasan.
Pendekatan tersebut, terang Tardiyana, bukan hal baru dan sudah diterapkan di banyak kota di dunia. Pengalaman masa pandemi Covid-19 lalu memberi pelajaran bahwa kehidupan alam yang natural adalah hal yang sangat penting. “Pada saat pandemi, ketika kita tidak boleh kemana-mana, banyak orang mulai hobi dengan tanaman, menanam pohon, bunga, sayuran di halaman rumahnya. Lalu, pada saat aturan mulai dilonggarkan, dan kita sudah boleh keluar, yang dicari adalah ruang-ruang hijau,” ungkapnya.
Hal yang terkait dengan alam, menurutnya, seperti dilupakan dan tidak menjadi bagian yang terintegrasi dari pengembangan ekonomi kota, padahal itu diperlukan. Untuk itu, “Kita harus kembali melihat bagaimana alam itu harus selalu menjadi bagian dari pengembangan kota,” katanya tegas.
Persoalan yang belakangan ini viral, seperti polusi udara dan banjir, menyusutnya kualitas lingkungan permukiman, salah satunya karena Jakarta sudah kehilangan ruang-ruang hijaunya. Tardiyana menilai hal itu terjadi karena Jakarta terlambat “mengantisipasi”. Oleh karenanya, Tardiyana menegaskan kalau gagasan rewilding cukup mendesak.
“Dengan melakukan rewilding, adanya pohon dan penyerapan air, barangkali banjir bisa dikurangi, persoalan kesehatan bisa dikurangi, panas udara kota juga akan sangat berkurang, sehingga kualitas udara dan sistem kota akan semakin baik” tandasnya.
Selain itu, yang harus diubah adalah perilaku warga kotanya. Seperti membiasakan diri untuk menggunakan moda transportasi umum. Walaupun sudah kalah dengan kota-kota lain, tapi setidaknya pengembangan jaringan MRT, LRT dan KRL bisa membawa Jakarta menjadi lebih baik.
TOD Sebagai Katalisator

Sementara itu, Monique Suksmaningsih, Practical Principal and Design Direction at Broadway Malyan Asia mengatakan urban regeneration bisa sebagai tools untuk menyiapkan Jakarta menjadi kota berketahanan ekonomi. Berpraktek di Singapura, Monique mengambil contoh kasus Singapura yang bagaimana urban manufacturing menjadi salah satu solusi, bahkan menjadi tombak ekonomi negara-kota tersebut. “Setelah tidak menjadi ibukota negara, perlu dipikirkan bagaimana Jakarta bisa menarik talents dan bisnis untuk masuk atau tetap ada di sini,” tuturnya. Monique juga mengingatkan bahwa yang perlu diperhatikan bukan hanya bisnis besar, tapi yang berskala kecil (UMKM). Pebisnis berskala mikro-kecil yang berada di kampung-kota.
Sebagai perencana utama Nusantara, Sofian Sibarani, The Visionary Founder of Urban+, mengusulkan empat hal untuk “memperbaiki” Jakarta. Pertama, memikirkan kembali water management system mengingat Jakarta yang juga bisa disebut sebagai kota banjir. Lalu yang kedua, segera menyetop Jakarta untuk tidak makin “tenggelam”, yang ketiga mengurangi kemacetan dan yang terakhir mengenalkan penggunaan atau fungsi baru dari gedung-gedung bekas kantor pemerintahan.
Terkait dengan solusi kemacetan, Sofian menilai bahwa Jakarta sudah sangat baik dengan telah menerapkan konsep green mobility, yakni transportasi publik. Namun kritiknya, selain perlu terus menambah jaringan, pengembangan konsep transit oriented development (TOD) jangan hanya sebatas pemanfaatan ruang secara vertikal. Tetapi, ujarnya, “TOD juga harus menjadi katalis untuk membangun (kota) dan menjadikan pola tersebut berkinerja tinggi, harus memberikan kontribusi kepada ruang publik. Kalau ini diperbanyak, saya yakin akan sangat powerfull.”
Apakah usulan dan saran-saran tersebut utopia? Para perancang kota itu menyatakan tidak, karena hal tersebut logis dan sudah diterapkan di banyak kota.