Membangun kota dengan konsep hijau, lestari, ramah dengan lingkungan kini sudah menjadi keniscayaan. Apalagi iklim dan Bumi yang makin rusak, membuat kita harus sangat memperhatikan kaidah keberlanjutan dalam membangun. Di lain sisi, sama-sama sudah kita ketahui bahwa negeri ini sedang membangun ibukota baru, Nusantara di Kalimantan Timur. Dikenal sebagai salah satu wilayah dengan hutan hujan tropis yang harus terus dijaga, Nusantara dirancang sebagai kota baru yang sangat memperhatikan aspek keberlanjutan dan ramah lingkungan.
Seperti disampaikan oleh Adzuna Sinaga, Director of Urban Design, Founding Partner Urban+, biro perancang konsep Nusantara, bahwa ibu kota negara (IKN) sejak awal dirancang sesuai dengan kaidah sustainable developement. Mengusung konsep smart forest city atau kota pintar yang mengutamakan aspek lingkungan berkelanjutan, demikian katanya, pada acara diskusi “Sustainable Urban Development”, di @America, Jakarta, (3/10) lalu.
Hadir pada diskusi tersebut adalah Chief Sustainability Officer Kota Austin, Amerika Serikat (AS), Lucia Athens. Lucia menyampaikan ada beberapa hal paling penting yang harus diperhatikan, kala membangun kota yang layak huni dan ramah lingkungan. “Yang paling penting adalah gagasan seperti kota 10 menit, di mana Anda bisa mendapatkan hal-hal yang Anda perlukan dengan cepat, berjalan kaki, dengan sepeda, dan Anda tidak perlu naik mobil,” katanya.
Menurut Lucia, kota yang peduli pada perubahan iklim adalah kota yang memiliki kemampuan untuk menggabungkan perumahan dan tempat bekerja serta berbagai fasilitas kota, yang bisa melayani warganya tanpa membuat warganya harus berkendara.
Selain itu, warga kota juga harus punya akses yang sama ke ruang terbuka alami, seperti taman-taman kota atau lingkungan. Lucia mengungkapkan, di kotanya ada target, pada area perumahan padat harus ada taman dalam radius 2,25 km dan bisa ditempuh cukup dengan berjalan kaki.
Austin sendiri tenar sebagai kota paling ramah lingkungan se-AS. Kota ini memiliki gerakan terkait dengan isu keberlanjutan yang didukung tidak saja oleh pemkot, dan banyak organisasi nirlaba, sehingga kota ini memimpin dalam banyak hal. Seperti penggunaan panel surya komunitas, program hemat energi, teknologi yang diaplikasikan di gedung-gedung hijau sesuai standar LEED (sertifikasi hijau ala Green Building Council AS), penataan ruang terbuka hijau sampai pengelolaan air. Kegiatan ekonomi berbasis energi terbarukan di kota ini pun terus berkembang, membuat Austin menjadi ibarat “pusat studi” tingkat nasional tentang sistem keberlanjutan di negara Paman Sam.
Libatkan Warga dan Komunitas
Apakah Jakarta bisa menjadi kota yang lebih layak huni? Lucia menilai bahwa dengan tidak lagi menjadi ibukota negara, Jakarta justru punya banyak peluang untuk membuatnya hadi lebih baik, dari segi lingkungan dan tata ruang. Akan banyak peluang mengalihkan ruang-ruang yang tadinya berlapis beton menjadi ruang terbuka, termasuk melakukan penghijauan, menata ulang sistem alaminya juga memperbaiki aliran sungan dan saluran air, sehingga dapat mengembalikan fungsi yang semestinya. “Sehingga kota ini akan memiliki ekosistem yang lebih berfungsi dan akan memberikan kualitas air yang lebih baik, habitat yang lebih baik, dan juga tempat hidup yang lebih baik bagi manusia,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
Dengan kondisi lingkungan Jakarta yang sudah buruk seperti sekarang, Lucia menilai, untuk mewujudkan itu semua bukanlah hal sulit dan tidak membutuhkan waktu lama. “Jika kota tersebut sudah berada di kondisi seperti Jakarta yang lalu lintas padat dan tingkat mobilitas tinggi, tetap bukan hal sulit, itu tergantung pada komitmennya dan seberapa banyak investasi yang disiapkan untuk regenerasi. Untuk mewujudkan infrastuktur ramah lingkungan sebenarnya tidak memerlukan biaya sebesar, bahkan jauh di bawah, jika dibandingkan dengan investasi untuk pembangunan gedung-gedung tinggi baru,” paparnya.
Menurut Lucia, biaya yang dikeluarkan harus dinilai sebagai investasi untuk generasi selanjutnya. Dan bagaimana mewujudkan, dengan pengalaman dari kotanya, caranya bisa kemitraan dengan komunitas, dan “Mendorong komunitas (warga kota, Red.) benar-benar terlibat dalam menciptakan ruang hidup yang ingin mereka miliki,” tandasnya.
Seperti yang sudah berjalan di Austin melalui program “Neighborhood Partneting”, yang mana pemkot bermitra dengan komunitas/warga sebuah lingkungan untuk membuat areanya lebih layak tinggal, dan untuk bekerja (untuk meningkatkan nilai ekonomi kawasan). Bentuknya bisa hanya menambahkan hal yang kurang, atau membuat baru. Dananya disiapkan dan bahkan dicari bersama. Yang mana pada intinya, komunitas menjadi penentu dan berkomitmen, dengan pendampingan dari pihak pemkot. “Jadi program itu bermanfaat, membangun perilaku dan menciptakan komunitas yang berkelanjutan,” tutupnya.