Banyak orang mengira kubah di atap masjid menjadi salah satu ciri “wajib” tempat ibadah umat Muslim. Sejatinya tidak demikian, sebab elemen itu adalah hanya bagian dari budaya yang diadopsi oleh banyak perancang masjid. Karena itu kini banyak masjid tidak memiliki kubah, kalaupun ada, bentuknya sudah dimodifikasi menjadi beragam bentuk dan bagian.
Lima masjid berikut ini adalah contohnya, yang sekadar menempatkan kubah sebagai bentuk atapnya, memberi hasil karya desain unik yang kemudian menjadi ikon baru kota di mana masjid itu berada.
Masjid Raya Jawa Barat, Al Jabbar, Bandung
Sudah diresmikan sejak tahun lalu, hingga kini masjid ini masih terhitung viral untuk dikunjungi. Berdiri di lahan seluas 26 ha, di daerah Gede Bage, Bandung, bangunan utama dirancang dengan luas lantai 99 x 99 m2 sesuai angka Asmaul Husna, serupa “melayang” di tengah danau.
Dirancang oleh Ridwan Kamil pada tahun 2015, jauh sebelum diangkat menjadi Gubernur Jawa Barat, masjid ini berdesain unik. Mengadopsi arsitektur modern kontemporer dengan aksentuasi masjid Turki dan seni dekoratif khas Jawa Barat, bangunan utama masjid tidak memisahkan dinding, atap, dan kubah, melainkan hasil peleburan ketiganya menjadi satu bentuk setengah bola raksasa. “Badan” bangunan itu dilapisi dengan kaca patri berwarna, yang disusun dalam pola diamond. Pada beberapa bagian seperti terdapat cungkilan berbentuk potongan kerucut yang disusun dalam pola geometris, yang memang terinspirasi dari rumus aljabar (dasar matematika).
Luas dan tingginya lantai area shalat dihiasi 27 relung terbuat dari tembaga tempa dengan relief berupa motif batik ini mewakili tiap kota dan kabupaten di Jawa Barat. Lantai di bawah mezanin diterangi lampu kuningan karya perajin Gentur, Cianjur, dengan warna keemasan. Sementara pada bagian dinding sisi barat, terdapat mihrab yang terhubung hingga mahkota di pucuk langit-langit. Dengan ruang shalat bebas kolom yang luas, masjid ini bisa menampung 30 ribu jamaah.
Berfungsi lebih sekadar dari tempat ibadah, masjid ini juga dilengkapi dengan museum sejarah Rasulullah SAW, sejarah perkembangan Islam di tanah air, dan sejarah Islam di Jawa Barat. Ditempatkan di lantai dasar atau ma’rodh, menjadikan ini satu-satunya masjid di Indonesia yang memiliki pusat edukasi berupa museum dengan penggunaan teknologi digital terkini.
Di sisi timur masjid, terdapat tugu kaligrafi “Al Jabbar” berwarna emas yang berdiri di atas plaza bundar yang permukaannya dilapisi teraso buatan tangan dengan motif Wadasan berwarna biru dan kuning cerah. Di sisi ini juga terdapat beberapa aksentuasi khas masjid Turki yaitu pelataran besar dikelilingi koridor dengan naungan dihiasi kaca patri warna-warni, serta paviliun wudu dengan keran air bertempat duduk yang berhiaskan mozaik, karya tangan perajin Jawa Barat.
Masjid Raya Sumatera Barat, Padang
Masjid ini adalah karya arsitek Rizal Muslimin, sebagai pemenang sayembara desainnya yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Sumatera Barat. Desain masjid ini menyerupai bentuk atap rumah gadang, rumah tradisional Minangkabau. Menurut Rizal, sejatinya bentuk atap tersebut bukan semata-mata menduplikasi model atap bangunan lokal. Model atap ini justru terinspirasi dari peristiwa peletakan batu Hajar Aswad oleh Nabi Muhammad SAW, yang menggambarkan bentuk bentangan kain yang digunakan untuk mengusung batu tersebut. Untuk itu, pada bagian dalam masjid terdapat mihrab dengan bentuk menyerupai batu Hajar Aswad. Latar belakang warna dominan putih dengan ukiran kaligrafi Asma’ul Husna di bagian atas mihrab.
Desain masjid ini juga didasarkan pada filosofi tiga simbol kehidupan yaitu mata air, bulan sabit dan rumah gadang. Secara keseluruhan bangunan masjid dirancang dengan memadukan aspek tradisional masyarakat setempat dan kebudayaan Islam dengan konsep modern. Hal ini sejalan dengan falsafah adat masyarakat Minangkabau yaitu “Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah”. Falsafah ini berarti adat dan agama adalah dua hal yang senantiasa berjalan beriringan.
Juga dikenal sebagai Masjid Mahligai Minang, masjid ini berdiri di atas lahan seluas 40.000 m2. Memiliki tiga lantai yang diperkirakan dapat menampung sekitar 20.000 jamaah, yakni sekitar 15.000 jamaah di lantai dasar dan selebihnya di lantai dua dan tiga, luas bangunan utamanya sekitar 18.000 m2. Menyisakan halaman luas, yang dijadikan sebagai area parkir, taman, dan tempat evakuasi kala terjadi tsunami (shelter). Maklum masjid yang berlokasi jalan Khatib Sulaiman, Alai Parak Kopi, Padang ini masih berada di jarak aman dari pantai yang sejarak 3km. Di bagian samping bangunan masjid terdapat menara setinggi 85 meter yang dapat dinaiki oleh publik hingga ke atapnya, dengan menggunakan lift.
Dengan rancangan demikian, masjid ini meraih Abdullatif Al Fozan Award 2021, di Madinah, Arab Saudi.
Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang
Masjid ini berlokasi di jalan Gajah Raya, Sambirejo, Semarang, di atas lahan selapang satu hektare, luas bangunannya mencapai 7.669 m2 dan bisa menampung hingga 16.000 orang.
Dirancang oleh Ahmad Fanani dari Biro Arsitek Atelier Enam Jakarta, arsitektur masjid ini mengadopsi gaya perpaduan Jawa, Timur Tengah, dan Yunani/Eropa. Langgam Timur Tengah terlihat dari kubah dan keempat minaretnya, sementara gaya Jawa terlihat pada bagian badan atap masjid yang berbentuk limas serta dasar tiang masjid bermotif batik, yakni tumpal, untu walang, kawung, dan parang-parangan. Adapun gaya Yunani terlihat pada pilar-pilar besar dan bentuk gerbang yang mengingatkan kita pada koloseum.
Di halaman yang luas terdapat enam payung raksasa yang ikonik. Payung ini dapat membuka dan menutup secara otomatis dengan sistem hidrolik, identik dengan Masjid Nabawi di Madinah, Arab saudi. Berdiri setinggi 20 meter dan lebar bentang hingga 14 meter, payung-payung ini berfungsi sebagai atap untuk menaungi jamaah saat harus beribadah di area teras, kala jumlahnya tak tertampung di dalam masjid.
Gerbangnya yang berbentuk setengah lingkaran di bagian depan masjid, disangga oleh 25 tiang Al-Qanathir sebagai simbol 25 rasul. Dihiasi kaligrafi, jika pada sisi depan bertuliskan surat Al-Mukmin ayat 1-5, pada sisi dalam deretan asmaul husna dan surah Al-Fatihah.
Selain itu juga terdapat menara Asma’ul Husna yang dibuat setinggi 99 meter dan dapat dilihat dari radius 5 km. Menara yang terletak di sudut barat daya masjid ini memiliki banyak fungsi. Bagian dasarnya dijadikan studio radio dan tv lokal, lalu lantai 2 dan 3 digunakan sebagai Museum Kebudayaan Islam. Di lantai 18 terdapat kafe yang dapat berputar 360 derajat dan lantai 19 dijadikan sebagai menara pandang, yang dilengkapi dengan 5 teropong. yang bisa melihat kota Semarang, bahkan kapal-kapal di pelabuhan Tanjung Emas.
Masjid 99 Kubah, Makassar
Kubah jadi ciri masjid ini, tetapi tidak satu, melainkan 99, sesuai dengan Asma’ul Husna. Juga dirancang oleh arsitek Ridwan Kamil, yang berkolaborasi dengan arsitek lokal, Muhammad Mursif, masjid ini berdesain perpaduan modern klasik dan futuristik.
Terdiri atas kubah-kubah kecil yang disusun dalam pola berjenjang mengerucut ke kubah besar di atap, kubah-kubah tersebut dilapis keramik berwarna gradasi: merah, jingga, dan kuning. Kala senja, masjid ini makin terlihat indah berpadu dengan langit yang berwarna senada. Susunan kubah yang demikian juga memungkinkan masuknya udara dan cahaya dengan bebas di siang hari, bahkan tidak ada pendingin ruangan, sehingga masjid ini terhitung hemat energi.
Masjid berdiri di atas area reklamasi Pantai Losari, Tanjung Bunga, Makassar atau yang dikenal juga “Center Poin of Indonesia”. Masjid dengan luas bangunan 72×45 meter persegi ini terbagi menjadi tiga area, yaitu ruang shalat yang bisa menampung 3.880 jamaah, ruang mezzanine yang berkapasitas 1.005 jamaah, dan pelataran suci yang dapat menampung 8.190 jamaah. Area basement-nya yang digunakan sebagai tempat wudhu, kantor yayasan dan galeri.
Di halaman masjid terdapat air mancur, yang sesaat setelah Adzan Magrib akan menjadi atraksi tersendiri selama 30 menit. Air mancur ini bisa menyemprot air setinggi 17 meter dengan 7 macam warna yang berubah-ubah sesuai musik yang tengah diputar.
Sheikh Zayed Mosque, Solo
Ini adalah salah satu masjid terbaru yang hadir di negeri ini, baru diresmikan tahun 2022. Berlokasi di Jalan Ahmad Yani, Nusukan, Solo, Jawa Tengah dan diberi nama Masjid Sheikh Zayed. Nama ini diberikan sebagai hadiah, sekaligus menjadi penanda hubungan dekat antara Indonesia dan Uni Emirat Arab, yang dipimpin oleh empunya nama tersebut. Karena itu desain masjid ini menyerupai desain masjid bernama sama di Abu Dhabi, yang dirancang oleh arsitek Yusef Abdelki.
Memiliki 82 kubah berhias batu alam dan satu kubah besar di atas bangunan utama. Bentuk serupa, warna pun demikian, termasuk detil ornamennya, tapi kapasitas masjid di Solo ini lebih kecil daripada pendahulunya, yakni 10.000 jamaah. Masjid ini berdiri di lahan seluas 26.581 m2, dengan luasan bangunan masjid mencapai 7.814 m2.
Sebagai replika, material pembentuk masjid ini juga banyak yang serupa dengan masjid aslinya, seperti penggunaan material marmer untuk di dinding maupun lantai, yang didatangkan langsung dari Italia. Namun masjid ini juga mengangkat nilai lokal, dengan menggunakan motif batik kawung di salah satu area pelataran serambi masjid. Motif batik ini juga yang diaplikasikan pada karpet di lantai utama masjid, yang dikombinasikan dengan desain geometris arabesque di bagian tengah.
Masjid ini dilengkapi dengan empat menara bergaya Timur Tengah dan sebuah kubah utama, di mana pada malam hari, semuanya dihiasi cahaya berwarna biru. Juga tersedia perpustakaan dan area yang ditujukan sebagai Islamic Center yang akan berfungsi sebagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam. Di sini juga terdapat lantai basement yang dijadikan ruang khusus, serta area wudhu yang secara keseluruhan memiliki 606 keran wudhu.