Agar Tetap Ramai, Ruang Ritel Harus Terus Meremajakan Diri

Bagikan

ritel

Sektor ritel termasuk sektor dengan karakter short bounce atau setelah alami penurunan bisa mengalami pembalikan kondisi dalam periode yang lebih cepat dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Demikian pengamatan Knight Frank, seperti yang disampaikan Sindiani Surya Adinata, Director Knight Frank Indonesia, di Jakarta, (12/9).

Menurut Syarifah Syaukat, Senior Research Advisor Knight Frank Indonesia, menyatakan bahwa siklus ritel punya daya ungkit yang lebih cepat untuk pemulihan dibandingkan sektor-sektor lainnya karena yang dipasarkan terkait dengan kebutuhan harian warga urban.

Namun hal tersebut tidak berlaku serta merta seiring dengan perkembangan ekonomi, jika tanpa upaya yang dilakukan oleh peritel dan pemilik pusat belanja. Untuk itu, mereka harus terus melakukan inovasi dan kreatif menyesuaikan dengan kebutuhan dan selera konsumen yang dibidik. “Para pengunjung mall atau ruang ritel itu selalu menginginkan tempat-tempat yang fresh, tempat-tempat yang baru, baik dari sisi penampilan maupun dari sisi efektivitas, juga strategis,” ucap Frank Tumewa, General Manager Knight Frank Indonesia.

Konsultan properti yang berbasis di London, Inggris ini menunjukkan bahwa saat ini sekitar 8% ruang ritel di Jakarta sedang melakukan renovasi dan peremajaan untuk membuat ruang-ruangnya bersuasana lebih segar. Saat ini jumlah pasok mall di Jakarta lebih dari 4,5 juta m2, dengan rata-rata tingkat huniannya berada di kisaran 77,79% (semester pertama 2024). Dibandingkan tahun lalu, kedua angka ini relatif tidak berubah.

Dilihat dari sebarannya, ruang terbanyak berada di wilayah Jakarta Selatan (36%), disusul Jakarta Pusat dan Utara yang masing-masing sebesar 19% dari pasok eksisting. Hingga akhir tahun ini, Knight Frank mencatat akan ada tiga proyek mall baru yang akan menambah jumlah pasok, yakni dari Lippo Mall East Side – Cempaka Putih, Menara Jakarta Shopping Mall dan Agora Lifestyle Center yang menjadi bagian dari superblok Thamrin Nine.

baca juga: Digitalisasi, Keniscayaan di Bisnis Ritel Modern

Hal senada juga disampaikan Colliers Indonesia, bahwa tren positif semakin terlihat di sektor ritel. “Dengan lalu lintas pengunjung yang terus meningkat, banyak pemilik mal bersiap untuk mengoptimalkan operasi dan fasilitas mereka. Selain berbelanja, mengubah pusat perbelanjaan menjadi tempat nongkrong dan destinasi gaya hidup tetap menjadi hal yang penting saat ini,” kata Ferry Salanto, Head of Research Colliers Indonesia.

Ferry menyampaikan peritel terutama pada sektor gaya hidup dan F&B, tetap optimis. Bioskop dan juga supermarket terus menjadi daya tarik utama, sementara peritel mode, khususnya dari kategori alas kaki, yakin dapat memanfaatkan tren gaya hidup aktif yang tengah berkembang saat ini.

Ritel Grade C Paling Terdampak

Walau demikian, jika diteliti lebih detil, tidak semua pusat belanja masih ramai. Membagi empat kelas: premium, grade A, B dan C, mall pada dua kelas terakhir adalah yang paling sulit saat ini. Pusat-pusat belanja yang menyasar masyarakat kelas menengah-menengah adalah yang paling merasakan dampak dari berkurangnya jumlah kelas menengah ini. Data Knight Frank menunjukkan, grade C mall alami penurunan tingkat hunian sebanyak 3,28%, sementara grade A justru naik 1%.

Hal ini segaris dengan data Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa pada tahun ini jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia ada sebanyak 47,85 juta orang, turun dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 48,27 juta orang. Bahkan dibandingkan data tahun 2019, jumlah tersebut lebih merosot, yang pada lima tahun lalu berjumlah 57,33 juta jiwa. Pasalnya, pengurangan jumlah tersebut karena mereka turun kelas, yang berarti ada pengurangan daya beli.

“Saat ini daya beli masyarakat terutama di kelas menengah relatif lebih rendah, ada pergeseran di kelas tersebut, dari menengah-menengah ke menengah bawah,” ucap Syarifah. Tidak bisa dipungkiri bahwa volume belanja dari segmen yang rentan ini akan mempengaruhi secara umum performa ritel. “Transaksi tetap terjadi pada pangan dan sandang, sebagai kebutuhan dasar, tapi kualitas maupun kuantitas akan berkurang,” ujarnya.

Karena itu, menurut Ferry, pengembang perlu fokus dalam menarik lebih banyak penyewa dan berhati-hati dalam menaikkan harga sewa. Dinamika setiap zona dan lantai perlu untuk dipahami, pun aktivitas pengunjung yang berbeda-beda. “Hal-hal itu sangat penting untuk meningkatkan kinerja dan mengembangkan strategi tenancy-mix yang efektif,” sarannya.

Beralihnya preferensi konsumen dalam berbelanja tersebut adalah hal yang juga harus diperhatikan. “Di tengah terjadinya kontraksi pada international brand di berbagai ruang ritel di Jakarta, inilah saatnya local brand untuk masuk dan meramaikan ruang-ruang ritel,” tandas Syarifah.

 

Artikel Terkait

Leave a Comment