BERITA PROPERTI – Pengembang perumahan sederhana masih belum merasakan keseriusan pemerintah dalam mendukung pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), salah satunya adalah belum adanya kepastian penambahan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk tahun 2020.
Oleh karena itu, sebagai organisasi pengusaha perumahan yang mayoritas anggotanya membangun rumah sederhana, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mendesak agar pemerintah lebih kreatif dalam mencari solusi. Pasalnya, jika dibiarkan berlarut-larut akan mengganggu suplai hunian sederhana bagi MBR.
Ketua Umum DPP Apersi Junaidi Abdillah mengatakan, hal yang paling penting saat ini adalah kepastian usaha bagi seluruh pengembang di tanah air, khususnya mereka yang membangun rumah sederhana bagi MBR. Masih belum jelasnya kuota FLPP, sangat mempengaruhi masyarakat yang ingin memiliki rumah karena terkait dengan segala aturan dan kebijakan pemerintah.
“Secara lisan memang sudah disampaikan ada penambahan kuota, namun belum ada kepastian berapa angkanya. Kami bahkan sudah menghadap ke Wakil Presiden guna menyampaikan kendala yang dihadapi oleh Apersi. Beliau sangat mendukung kami dan akan membahas lebih lanjut dengan pihak-phak terkait,” ujar Junaidi.
Apersi juga menghadap Ketua MPR, karena memang dalam UUD disebutkan bahwa MPR juga dapat membantu dan mendukung dalam kegiatan merumahkan rakyat. Sama halnya dengan Wapres, kata Junaidi, Ketua MPR sangat merespon dengan baik dan mendukung agar perumahan bagi rakyat kecil harus lebih diutamakan serta disarankan untuk mencoba mencari pendanaan dari luar.
“Peluang untuk penambahan kuota FLPP masih belum jelas, oleh karena itu kami berharap adanya terobosan yang harus dilakukan oleh Kementerian PUPR. Dibutuhkan kreatifitas, khususnya setingkat dirjen yang bisa menjalankan strategi khusus. Tapi anehnya sampai saat ini belum ada yang dijalankan oleh dirjen terkait dan akibatnya sangat mengganggu jalannya usaha,” tegas Junaidi.
Lebih lanjut dikatakan Junaidi, pada intinya adalah bagaimana caranya dengan dana atau kuota yang terbatas, tapi unit-unit rumah sederhana yang dibangun tetap bisa ditambah agar kebutuhan tetap terpenuhi. Pemerintah, kata Junaidi bisa melakukan strategi seperti mengurangi porsi pembiayaan dan memberikan porsi tersebut kepada pihak lain.
“Misalnya, porsi pemerintah yang sebelumnya sebesar 70%, dan SMF sebesar 30%, dikurangi menjadi 50%, lalu SMF dan perbankan masing-masing 25%. Memang dampaknya akan terjadi kenaikan suku bunga, tapi masyarakat mungkin tidak terlalu mempermasalahkanm asalkan tetap jalan. Yang terpenting adalah terserap untuk kepentingan masyarakat,” ulas Junaidi.
Selain itu, kata dia, perbankan juga bisa melakukan inovasi sendiri untuk memudahkan pembiayaan disektor properti. Jadi, kalau memang kuota FLPP sulit untuk ditambah, maka pemerintah harus lebih kreatif meluncurkan program-program baru serta ide-ide lainnya untuk membantu dunia usaha dan juga MBR pada khususnya.
Sekretaris Jenderal DPP Apersi Daniel Jumali menambahkan, jika memang kuota tidak bisa ditambah, bisa dilakukan program lain yaitu dengan simulasi porsi yang sudah dimodifikasi antara pemerintah, SMF dan perbankan, mampu membuat pembiayaan murah dengan bunga hanya 6,5 %. Selain itu, kata dia, bisa juga dengan mengaktifkan kembali Subsidi Selisih Bunga (SSB).
“Sistem SSB ini lebih murah. Misalnya untuk membangun 100 ribu unit, hanya cukup dengan anggaran Rp 700 miliar. Lalu jika anggaran yang dikeluarkan mencapai Rp 1 triliiun, maka dana itu bisa membangun sebanyak 150 ribu unit, dananya kecil dan ini bisa dilakukan. Jadi pemerintah memang harus jujur, apakah dana untuk pembiayaan perumahan ini ada atau tidak. Kalau memang tidak ada, katakan saja sehingga pihak-pihak lain tidak menunggu dan bisa mencari solusi serta kreatifitas,” tutur Daniel.