BERITA PROPERTI – Pembangunan perumahan rakyat dalam dua tahun terakhir, mengalami banyak gangguan dan permasalahan. Disamping sejumlah masalah lama yang masih menjadi penghambat utama perumahan sederhana seperti perijinan, landbank, birokrasi dan daya beli, masalah pendanaan atau pembiayaan yang belakangan menjadi rintangan paling besar.
Tahun 2019 lalu, habisnya kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi puncaknya permasalahan pembiayaan rumah subsidi di Indonesia. Para pengembang rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) ini kalang kabut akiibat habisnya kuota FLPP tersebut. Akibatnya, ribuan unit rumah yang sudah terjual dan terbangun gagal akad kredit.
Sementara untuk tahun ini, agar tidak terjadi lagi kekurangan kuota, pemerintah telah menjanjikan adanya penambahan kuota, dari rencana sebesar Rp 11 triliun. Melalui Kementerian Keuangan, pemerintah Joko Widodo berjanji akan ada penambahan, karena kuota untuk tahun ini sudah ada yang terpakai pada tahun 2019 lalu.
Namun sayangnya, ketetapan adanya penambahan kuota FLPP pada tahun 2020 itu masih belum jelas karena Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tidak langsung merespon. Akibatnya, para pengembang perumahan subsidi yang bergantung kepada FLPP, masih merasa was-was karena diprediksi kuota akan habis pada April 2020 jika tidak ada kepastian penambahan.
Keluhan tentang berbagai masalah yang dihadapi pengembang, termasuk kuota FLPP, setidaknya diakui oleh empat asosiasi perusahaan pengembang perumahan di tanah air, antara lain Realestate Indonesia (REI), Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) dan Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Appernas Jaya).
Dalam diskusi yang bertema Qua Vadis Subsidi Perumahan Rakyat yang digelar oleh Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera), di Jakarta, Selasa (17/3), masing-masing pimpinan asosiasi perumahan tersebut mengeluhkan masih belum maksimalnya dukungan pemerintah, dalam hal ini PUPR terhadap sektor perumahan bersubsidi.
Ketua Umum DPP REI Paulus Totok Lusida mengeluhkan berbagai aturan teknis yang terkait dengan pembangunan perumahan bersubsidi selalu berubah-ubah, sehingga banyak membingungkan anggotanya. Aturan tersebut, ujar Totok, ada di FLPP, Subsidi Selisih Bunga (SSB), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), maupun Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BPT).
“Hal ini tentu akan merugikan pengembang. Bahkan aturan selalu berubah pada spesifikasi bangunannya di saat proses pembangunan sudah berlangsung. Padahal pengembang sudah selalu mencoba mengikuti ketentuan yang ada. Namun kebijakan di level Ditjen Penyediaan Perumahan PUPR selalu datang mendadak dan tidak ada masa transisi,” tukas Totok.
Totok menyayangkan karena apabila unit sudah terbangun, maka pengembang akan kesulitan untuk menjual rumah untuk MBR. Oleh karena itu, dia meminta jika ada perubahan spesifikasi jangan selalu mendadak. Kebijakan seperti ini menjadi hambatan dan mengancam program sejuta rumah. Masalah anggaran yang masih sangat kecil saja, sudah membuat program ini tidak berjalan.
Diamini oleh Ketua Umum DPP Apersi Junaidi Abdillah yang mengatakan bahwa banyak kebijakan dan sistem baru yang dijalankan, justru menjadi penghambat dalam membangun rumah untuk MBR. Dirinya menyoroti bagaimana Sistem Informasi KPR Subsidi Perumahan (SiKasep) dan Sistem Informasi Kumpulan Pengembang (SiKumbang) yang sangat menganggu kinerja pengembang rumah subsidi.
“Kami ini adalah pengembang yang membantu program pemerintah, tapi sepertinya kami malah dibunuh dengan adanya sistem aplikasi itu (SiKasep). Adanya aplikasi ini berdampak buruk dan menyusahkan pelaku usaha properti. Lebih aplikasi itu ditinjau ulang oleh pemerintah karena sangat merugikan,” kata Junaedi yang sudah sering menyatakan keluhan program tersebut sejak beberapa waktu lalu.
Sama halnya dengan Ketua Umum DPP Himperra Endang Kawidjaja yang meminta Kementerian PUPR untuk melakukan masa transisi terlebih dahulu, dan tidak begitu saja diberlakukan aplikasi SiKasep di lapangan. Banyak kejadian data hilang saat akan dilakukan akad kredit. Menurut dia SiKasep belum siap untuk skala nasional meskipun mungkin hanya masalah teknis, namun sangat berpengaruh pada konsumen dan pengembang.
“Secara regulasi SiKasep dan SiKumbang belum ada aturan atau regulasi yang jelas yang menegaskan bahwa sistem itu harus digunakan sebagai patokan untuk akad kredit lewat bank penyalur. Kami juga mendengar perbankan penyalur KPR juga kesulitan. Sebaiknya ketika kebijakan itu diluncurkan maka harus ada masa transisi, terlebih karena sistemnya sendiri belum siap,” ujar Endang.
Appernas Jaya yang merupakan asosiasi pengembang perumahan baru, juga sepakat bahwa pemerintah harus lebih fokus dalam mendukung pembangunan rumah subsidi. Oleh karena itu, Ketua Umum DPP Appernas Jaya, Andre Bangsawan mengusulkan agar pengembang melakukan terobosan-terobosan baru secara kreatif dalam menyiasati permasalahan pembiayaan perumahan.
Mantan wartawan yang menjadi pengembang ini mengatakan, pihaknya mempunyai beberapa skema pembiayaan bagi rumah MBR yang tidak memberatkan. Meskipun Andre mengaku bahwa pengembang di Indonesia, khususnya rumah subsidi sudah cukup kreatif. Jadi pengembang bisa membuat skema bahkan tanpa APBN sekalipun, tetapi tetap bisa membangun rumah MBR. “Kami sudah siap mengusulkan skema yang menarik. Toh, banyak pengembang yang tetap bisa jalan tanpa FLPP. Kita bisa kok tidak memberatkan MBR,” tegas Andre.
Wakil Ketua Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk daerah pemilihan Kalimantan Barat, Sukiryanto mengatakan, dalam permasalahan yang selama ini dihadapi pengembang, akan coba menyampaikan kepada pemerintah dan DPR. Meskipun dia mengaku bahwa DPD tidak memiliki kewenangan terhadapa budgeting, namun akan berusaha memberikan dukungan penuh.
Sukiryanto merupakan mantan Ketua DPD REI Kalimantan Barat dan sangat faham persoalan yang dihadapi oleh pengembang, khususnya perumahan subsidi. Di Komite IV DPD REI, Sukiryanto menangani urusan daerah dan masyarakat, antara lain Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN), Pajak dan pungutan lain serta Perimbangan keuangan pusat dan daerah.